Di antara lengkung perbukitan daerah Nagari Gurun yang hijau dan sunyi, nama Syekh Rajian Dt. Patieh Gurun masih disebut dengan nada hormat. Ulama besar Tarekat Sammaniyah dan Naqsyabandiyah ini lahir pada 1924 dan wafat pada 1987. Selama hidupnya, ia dikenal sebagai figur karismatik yang membangun pondasi spiritual di Nagari Gurun, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota. Dari suraunya yang sederhana, ia menanamkan nilai-nilai sufistik yang berakar dalam tradisi keilmuan Minangkabau.
Nagari Gurun, tempat ia mengembangkan ajarannya, terbentang seluas 12,80 kilometer persegi, sekitar 3 persen dari luas Kecamatan Harau. Ibu nagarinya berada di Lubuak Jantan, hanya lima kilometer dari pusat kecamatan dan tiga kilometer dari ibu kota kabupaten, Sarilamak. Di sinilah Syekh Rajian menjalankan peran bukan hanya sebagai guru ruhani, tetapi juga penuntun moral bagi masyarakat yang tengah mencari arah dalam dinamika sosial pasca-kemerdekaan.
Jejak spiritual Syekh Rajian bermula dari bimbingan gurunya, Maulana Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus seorang ulama besar pemangku Tarekat Naqsyabandiyah dan Sammaniyah yang disegani di Sumatra Tengah. Dari sang guru itulah, Rajian menimba ilmu tasawuf yang kelak membentuk kepribadiannya: tenang, penuh wibawa, dan teguh dalam prinsip spiritualitas Islam. Ia dikenal luas di Luhak Limo Puluah, dihormati baik di kalangan ulama maupun masyarakat awam karena ketekunannya membina murid tanpa pamrih. Syekh Rajian tak hanya dikenal sebagai Mursyid tapi ia juga seorang ahli Silek / dalam istilah Minangkabau Pendeka.
”Yo nan namonyo murid beliau yo banyak, dari Mungka, dari Tarontang, Koto Nan Gadang, Tiaka Payobasuang, Tobek Panjang, Koto Baru, Parumpuang, yo banyak lah pokok e,” ujar Hasnatinur (67), istri almarhum yang ditemui di rumahnya di Jorong Tabiang Ranah, Nagari Simalanggang. Dengan nada lirih, ia mengenang masa ketika surau suaminya menampung seratus orang bersuluk setiap tahunnya. “Dulu ramai, sampai surau penuh,” katanya, sambil menyeka air mata yang tiba-tiba jatuh.
Salah seorang murid terkemuka Syekh Rajian adalah Buya Yusir Biran Rasyid dari Koto Tingga, Kecamatan Mungka, yang wafat pada 2022. Buya Yusir dikenal sebagai pendakwah lantang yang menyampaikan kajian dengan bahasa tegas dan logika jernih. Ia sering menceritakan pengalaman spiritualnya di Mekkah, tentang momen tak terduga ketika banyak orang memberinya uang di jalan hingga sakunya penuh. Ia juga bercerita tentang perasaan mistis yang ia alami di Padang Kandih, seolah merasakan kehadiran seorang wali Allah di sana.
Kisah-kisah itu menjadi fragmen penting dalam warisan spiritual Syekh Rajian. Hasnatinur mengenang suaminya bukan hanya sebagai ulama yang dihormati, tetapi juga sosok yang sederhana. Dalam kenangan terakhirnya, ia menuturkan percakapan antara suaminya dengan Syekh Angku Tobek dari Koto Panjang, sahabat sekaligus sesama mursyid. ”Bu, kalau Oyah ko bapakaian Syekh Ymyo, sedangkan ambo yo cando iko sajo bakupiah BK sajo lah jadih,” kata Angku Tobek, seperti ditirukan Hasnatinur dengan senyumnya. Syekh Angku Tobek pula yang menghantarkan jenazah Syekh Rajian ke peristirahatan terakhirnya.
Dua tokoh tarekat itu memiliki jalur keilmuan yang berbeda, namun bermuara pada satu sumber: Belubus. Syekh Rajian berguru kepada Syekh Mudo Abdul Qadim, sementara Syekh Angku Tobek menimba ilmu dari Syekh Mukhtar Angku Tanjuang.
Kini, Surau itu telah sepi dan tak di huni lagi berdebu, tak seperti beberapa puluh tahun sulam. Namun, nama Syekh Rajian Dt. Patieh Gurun tetap hidup di tengah masyarakat Gurun dan sekitarnya. Surau tempatnya mengajar dahulunya menjadi ruang zikir dan tempat menapaktilasi ajaran tasawuf yang ia tanamkan puluhan tahun lalu. Di sana, di antara desir angin dan gema zikir, nama itu tak lekang: Syekh Rajian Dt. Patieh Gurun, ulama yang membumikan spiritualitas dan menjahit makna hidup di tanah Minangkabau.