Langit yang sebentar-sebentar cerah dan diselingi mendung yang berakhir gerimis menyambut pembukaan Harau Rock Climbing Festival 2025 di Lembah Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, Rabu (1/10). Di tengah tebing-tebing granit yang menjulang, ratusan peserta dari berbagai daerah sudah berkumpul. Festival yang berlangsung hingga 4 Oktober itu menghadirkan sosok tak biasa, yakni Rocky Gerung.
Bagi publik, Rocky lekat dengan perannya sebagai pengamat politik. Namun di dunia panjat tebing Indonesia, namanya bukan sekadar tamu. Ia tercatat sebagai Wakil Kepala Bidang Panjat Tebing Alam dan Rekreasi di Pengurus Pusat Federasi Panjat Tebing Indonesia (PP FPTI). Kehadirannya di Harau menjadi magnet tersendiri, terlebih setelah sempat ramai dibicarakan ketika atlet panjat tebing Indonesia, Veddriq Leonardo, meraih medali emas di Olimpiade Paris 2024. Saat itu, video ucapan terima kasih Rocky kepada masyarakat Indonesia viral di media sosial.
Di Harau, Rocky tampil sebagai narasumber dengan tema “Industri dan Pengelolaan Wisata Panjat Tebing.” Di hadapan peserta, ia membuka dengan analogi yang mengejutkan. “Intuisi kita memang dilatih dalam rahim ibu. Jadi adapun panjat tebing adalah olahraga yang paling aman, karena kita sebagai atlet maupun hobbies sudah dilatih oleh ibu kita sendiri. Itu filosofinya tuh,” ucap Rocky, disambut tawa dan tepuk tangan hadirin.
Ia lalu melanjutkan dengan penekanan ekologis. “Itu juga yang menyebabkan intuisi kita untuk menjaga alam sama dengan intuisi kita untuk membayangkan bahwa ketika saya hidup di rahim ibu, itu adalah ekologi yang paling bersih. Rahim ibu memberi saya nutrisi, memberi rasa nyaman. Jadi kita mau mengembalikan rahim ibu menjadi pusat perhatian ketika kita menjaga rahim alam. Dan Lembah Harau ini adalah rahim alam,” katanya.
Tak hanya berbicara soal filosofi alam, Rocky menyentuh isu yang sering menjadi bahan analisisnya: kekuasaan. “Mesti kita pastikan, memanjat tebing sangat berbeda etosnya dengan memanjat kursi kekuasaan. Waktu kita memutuskan memanjat tebing, di dada kita ada ambisi, ambisi untuk memenangkan ego kita. Panjat kekuasaan, ambisinya untuk memaksimalkan ego. Tapi dua-duanya harus punya kontrol. Di panjat tebing, teknik menjadi kontrolnya, dan itu ada latihannya. Nah, di kekuasaan itu tak ada kontrolnya,” ujarnya, menutup paparannya filosofis nya.
Festival ini menghadirkan pula Prof. Robertus Robert, Kepala Bidang Panjat Tebing Alam dan Rekreasi PP FPTI, sekaligus kehadiran Ketua Umum PP FPTI, Yenny Wahid, menambah bobot acara yang lebih inklusif. Panitia mencatat, peserta tidak hanya datang dari Sumatra, tetapi juga dari Jawa, Sulawesi, hingga Kalimantan.
Di antara ratusan peserta itu, Bermawi, mahasiswa Universitas Malikussaleh (UNIMAL) Aceh, mengaku kehadiran Rocky menjadi daya tarik tersendiri. “Motivasi saya belajar lebih dalam tentang panjat tebing, bukan hanya cara memanjat tapi juga cara melindungi alam. Saya berharap bisa belajar dari orang-orang yang berpengalaman,” ujarnya. Lantas ia menambahkan sambil tersenyum, “Iya, salah satunya karena kehadirannya.”
Suasana Lembah Harau selama festival kian semarak. Selain peserta, warga sekitar juga ikut ambil bagian. Bagi sebagian orang, panjat tebing mungkin sekadar olahraga ekstrem. Namun di tangan Rocky Gerung, ia menjelma menjadi metafora: tentang rahim ibu, ekologi yang bersih, hingga kritik halus pada kursi kekuasaan.