“Berbagai sudut pengambilan gambar kami tempuh, mulai dari atas bebatuan besar sekitar air terjun hingga dari dalam goa agar kelak kita semua tahu bahwa di sekitar kita ada bongkahan surga yang jatuh ke bumi” – Air Terjun Lubuak Bulan, 50Kota
Pagi itu embun tak berhenti menyelimuti kota kecil ku, Payakumbuh. Seruputan kopi hangat tak kunjung mengusir rasa dingin. Di benak ku terbayang indahnya Air Terjun Lubuak Bulan yang ku lihat di salah satu media beberapa hari sebelumnya.
Sebenarnya ku tlah berjanji dengan seorang teman untuk menyusup ke dalam hutan rimba lagi minggu ini. Namun, rencana tinggal rencana, sang rekan dapat panggilan kerja. Tapi hal itu tak sedikitpun menyurutkan niatku tuk menyibak belukar demi melihat langsung indahnya Air Terjun yang penuh misteri.
Jam tangan ku menunjukkan waktu 08.30 WIB, ku coba menghubungi salah satu abang yang memang suka berpetualang berharap ia mau menemani perjalananku kali ini. Tak butuh banyak kata tuk memastikan keberangkatan kami, karna kata Bang Onk Sasuai kalau memang mau ke lokasi itu sebaiknya kita berangkat pagi ini juga.
Berbekal sedikit keterangan dari media kami berangkat dari Payakumbuh jam 09.00 WIB. Dorongan tekad kuat serta lensa pinjaman dari Bang Dy Andre ku putar pegas motor mengejar waktu. Jam 09.45 kami memasuki daerah simpang kapuak, menurut keterangan warga sekitar kami masih harus meneruskan perjalanan sekitar 1 jam lagi sebelum bisa menikmati segarnya air terjun itu.
Baru setengah jam perjalanan kami dihadapkan pada medan yang tak lazim ditempuh dengan motor matic yang ku bawa. sebuah pendakian terjal panjang tanpa aspal menanti kami. Belum 500 meter mendaki, ku menyerah. Kendali motor ku serahkan pada Bang Onk yang memang berpengalaman menempuh berbagai arena ekstrim, sementara ku lebih memilih berjalan kaki. Tidak mudah memang, karna pendakian ini seperti tak ber-ujung.
Setelah 20menit ku ayunkan kaki menapak jalan tanah yang keras serta licin, baru ku bisa bernapas lega melihat jalan yang cenderung datar. Namun saat ku menoleh ke belakang tak ayal ku terkejut melihat kami berderi sejajar dengan Gunung Bungsu, cukup terjal pendakian yang barusan kami taklukkan mengingat jalurnya tak lebih dari 1KM.
Bang Ong menyarankan kami tuk beristirahat melihat peluhku yang tlah membasahi tubuhku. seteguk – dua teguk air cukup menyegarkan disini, mengembalikan kesadaranku betapa indahnya tempat kami beristirahat. Tak perlu komando ataupun peringatan, langsung ku keluarkan kamera yang sejak awal ku sandang. Bergantian kami mengabadikan indahnya alam Luak Nan Bungsu dari atas sini.
15 menit berhenti tlah mengembalikan tenaga ku dan Bang Ong mengembalikan tuas kendali motor. Tak kurang 30 menit kami berjuang keras menaklukkan medan yang selayaknya ditempuh dengan motor trail ini, Bang Ong berkali – kali dipaksa turun dari boncengan melihat jalur yang harus ku tempuh. Smakin ke dalam, jalur yang kami tempuh smakin memacu adrenalin. Jalan smakin sempit, tanah yang smakin licin dan sulitnya mencari jalan yang datar tak sedikitpun memupuskan bayangan akan air terjun lubuak bulan di mata ku.
Di belakang kami tampak beberapa sepeda motor melaju searah, kami tidak sendirian. Punya teman seperjalanan merupakan kebahagiaan lain saat berpetualang, saling bahu – membahu dan berbagi semangat sangat membantu penaklukan jalur ekstrim ini. Tidak sekali dua kali kami mengangkat motor rekan seperjalanan yang hampir roboh, mendorongnya melewati tanjakan, dan saling menunjukkan jalur teraman yang dapat ditempuh.
Saat memasuki hutan yang smakin rapat, kami sempat tersesat dan malah memasuki lahan kebun gambir. Untung saja masyarakat yang sedang memanen pohon uang itu tahu kami tersesat dan segera meneriaki kami. Ternyata kami melewati persimpangan menuju lokasi, maklum saja air terjun ini masih baru dikenalkan dan belum ada satupun penunjuk jalan.
Tiba saatnya kami harus meninggalkan motor dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menempuh turunan yang curam diiringi suara gemuruh air. Kami sudah dekat namun tak bisa bergesa karna jalan yang kami tempuh bukan turunan biasa, akar yang melintang dan tanah gembur membuat ku harus berhati – hati.
Luar biasa, sampai ku tak sanggup menggambarkan bagaimana indahnya air terjun ini. Air yang amat deras mengucur dari atap goa alami menuju dasar kolam. Ajaib, cuma disini kita tak bisa melihat kemana air kolam itu mengalir sehingga warga menamainya “Air Hilang”. Dari dalam goa ku melihat air terjun ini bagai selendang bidadari yang menjuntai dari langit berlatarkan hutan perawan dan secercah cahaya matahari.
Bersama Bang Ong, aku mencari tempat yang tepat untuk merekam keindahan “surga dunia” ini. Mulai dari atas bebatuan besar sekitar air terjun hingga dari dalam goa agar kelak kita semua tahu bahwa di sekitar kita ada bongkahan surga yang jatuh ke bumi.
Satu jam lebih kami berkeliling mengabadikan keajaiban ini, perjalanan yang cukup menguras energi ini membunyikan gemuruh dari dalam tubuh. Kami lapar. Saat membasuh tangan, kami dikagetkan oleh suara – suara teriakan yang kami kenali. Serentak aku dan Bang Ong menoleh ke arah jalan masuk goa, kaget bukan kepalang saat melihat rekan – rekan Payakumbuh Sepeda Nanjak (PSN) muncul di sini. Padahal dalam perjalanan tadi aku dan Bang Ong baru berencana mengajak mereka menjamah hutan ini.
Makan siang kami pun tertunda, kami disibukkan oleh permintaan teman – teman mengabadikan saat – saat mereka di Air Terjun ini. Diawali dengan photo perorangan dan ditutup dengan photo bersama ditemani canda tawa khas pecinta tanjakan, kami sempat lupa akan lapar.
Puas berphoto, kami menyegerakan makan siang. Bekal nasi bungkus dan air mineral pun tlah berpindah ke dalam saluran pencernaan. Sungguh, inilah tempat makan siang paling mewah yang pernah ku temui. Makan di dalam goa sembari menikmati pemandangan hutan saja sudah biasa, disini kita bahkan ditemani gemuruh air terjun yang lenyap seperti ditelan bumi.
Waktu seakan tak berdosa mengalir dengan begitu cepat disini, tak terasa jam tangan ku tlah menunjukkan jam 14.30WIB, saatnya untuk pulang. Karna kami harus melewati jalan yang sama saat menuju ke sini dan kami harus bergegas jika tak mau ditelan gelapnya hutan perawan saat malam datang.
Menuju tempat kami meninggalkan motor cukup menguras tenaga, tidak jarang tangan ku berpegangan pada akar dan pohon untuk menahan tubuh yang lelah ini. Dan kadang ke-ibaan hati tuk meninggalkan air terjun ini smakin melemahkan pijakan ku.
Beberapa saat setelah meninggalkan mulut goa kami berpapasan jalan dengan serombongan besar pecinta traveling dari Kota Padang, ada rasa haru yang besar mengetahui bahwa sepotong surga yang jatuh di bumi Luak Nan Bungsu ini dikenal hingga ke luar kota. Ada keceriaan di wajah mereka saat menikmati keperawanan hutan dan udara segar disini.
Bukan hal yang mudah untuk pulang karna pendakian yang terjal tadi harus kami bayar dengan penurunan panjang yang sangat curam. Tiga kali kami berhenti karna takut rem motor kepanasan yang dapat membahayakan perjalanan serta mengabadikan jalur perjalanan yang terlewatkan saat berangkat tadi. Selama perjalanan pulang kendali ku serahkan pada Bang Ong karna tak dapat ku pungkiri tubuh ini amat sangat lelah.
40menit perjalanan dan kami baru saja menuntaskan penurunan terjal terakhir dan mulai memasuki perkampungan. Dari sini kendali motor ku ambil alih karna Bang Ong pun sudah pasti sangat lelah menjajal jalur ekstrim tadi. Saatnya melaju dengan nyaman, karna mulai dari sini jalanan yang kami tempuh telah diaspal.
30KM perjalanan kami isi dengan perencanaan membawa rekan – rekan pecinta traveling ekstrim lainnya ke Air Terjun Lubuak Bulan. Pastinya tidak mudah, jarak yang jauh dari pusat kota dan jalur yang penuh rintangan akan menjadi bumbu peningkat selera para petualang sejati.
Besar harapan kami membawa kepingan kenangan akan indahnya Lubuak Bulan ke alam luar, rasa itu sama besarnya dengan takut akan pencemaran lokasi – lokasi wisata alami di negeri kami.(dikapitopang)