Categories Artikel

Syekh Muhammad Arifin: Sosok Datuak Oyah Batuhampar ke-III

Syekh Muhammad Arifin merupakan ulama terkemuka keturunan dari Maulana Syekh Abdurrahman Batuhampar. Beliau memiliki dedikasi besar dalam melanjutkan perjuangan Syekh Abdurrahman Batuhampar dan Syekh Arsyad Batuhampar dalam memimpin Surau Batuhampar, dan diangkat sebagai ‘Datuak Oyah Batuhampar ke-III’ setelah ayah dan datuknya.

Berbicara soal Batuhampar, Batuhampar merupakan daerah kecil di gerbang selatan Luhak Limo Puluah, yang saat ini termasuk teritorial Kabupaten Lima Puluh Kota.

Sejak abad 19, Batuhampar dikenal sebagai salah satu sentra pendidikan Islam ala Surau yang sangat tersohor di Minangkabau. Di sana berdiri sebuah Surau, yang kemudian diidentikkan dengan Surau Batuhampar, yang merupakan semacam perkampungan bagi urang siak (orang alim) yang belajar agama.

Paling tidak ada dua hal yang menjadikan Surau Batuhampar menonjol di antara surau-surau lainnya saat itu. Pertama, pendidikan al-Qur’an yang ditawarkannya. Surau Batuhampar ketika itu menjadi pusat pengkaderan para qari’ (ahli baca al-Qur’an).

Kedua, Surau Batuhampar merupakan salah satu pusat Tarekat Naqsyabandiyah, yang sampai saat ini tercatat yang tertua.Sebagai pusat pengkaderan qari’, Surau Batuhampar atau yang juga sering disebut Surau Kampung Dagang, telah memainkan peran penting dalam menyebarkan ilmu-ilmu yang terkait dengan al-Qur’an, seperti Tajwid, Tarannum (lagu al-Qur’an) dan Qira’at.

Namun di samping itu, Batuhampar sebagai pusat tarekat sufi lebih terkemuka, karena pada abad 19 itu Minangkabau terjadi peningkatan aktifitas tasawuf, yang ditandai dengan populernya ordo Sufi Naqsyabandiyah di dataran tinggi Minangkabau, dan Surau Batuhampar menjadi salah satu lokus penyebaran tarekat Naqsyabandiyah ketika itu.

Kembali kepada sosok Syekh Arifin, beliau Syekh Arifin ternyata juga mempunyai andil besar dalam menggagas berdirinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah pada tahun 1928. Syekh Arifin lahir pada tahun 1885. Ayah beliau, Syekh Muhammad Arsyad, ialah ulama besar Minangkabau yang memimpin Kampung Dagang / Batuhampar, kampung yang kelak memiliki jejak historis asal mula penyebutan “Anak Siak” tersebut.

Sebagai pribadi yang lahir di lingkungan keluarga yang religius, Syekh Arifin telah di didik dengan pelajaran agama dan kearifan lokal surau di waktu kecilnya oleh keluarganya terutama ayahnya Syekh Arsyad. Hal inilah yang membentuk kepribadian Syekh Arifin kelak, sehingga ia mewarisi kharisma dan ketokohan ayahnya; menjadi ulama besar kemudian hari.

Pendidikan awal Syekh Arifin diperolehnya dari lingkungan keluarga. Kampung Dagang, dalam hal ini surau yang dipimpin ayahnya, menjadi fondasi awal intelektual Syekh Arifin terbangun. Di sini beliau belajar Al-qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya. Apria Putra menyebutkan bahwa sampai saat ini belum ditemui catatan bahwa beliau pernah menimba ilmu di surau-surau lainnya di kawasan Minangkabau, namun dipastikan intelektualnya terbentuk secara mapan di Mekkah Al-Mukarramah, negeri pusat ibadah dan pusat keilmuan Islam.

Setelah Surau Batuhampar, Syekh Arifin kemudian tekun Masjidil Haram, termasuk zawiyah-zawiyah sufi yang banyak menghadiri dan menghadiri berbagai halaqah yang bertebaran di menuntut ilmu di Mekah al-Mukarramah. Di sana beliau berdiri di sekitar Masjid. Beliau menyempatkan diri menuntut ilmu kepada seorang ‘alim Minangkabau kala itu, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, yang menjadi imam dan khatib dalam mazhab Syafi’i di Masjidil Haram.

Meskipun Syekh Arifin berasaldari lingkungan yang kuat mengamalkan Tarekat Naqsyabandiyah, dan Syekh Ahmad Khatib dikenal sebagai ulama Minangkabau pertama yang secara terbuka mengecam tarekat ini, namun gurunya ini tidak mempengaruhi Syekh Arifin.

Syekh Arifin, setelah pulang ke kampung halamannya dan menggantikan posisi ayahnya, mengamalkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, dan ayahnya, beliau tetap tetap istiqamah termasuk tokoh utama dan pembelanya.

Selain dengan Syekh Ahmad Khatib, Syekh Arifin juga belajar kepada Syekh Muhammad Sa’ad Mungka (1959-1922) di Mekkah.Pada 1925, Syekh Arifin terpaksa pulang dari pengembaraan intelektualnya di Mekkah.

Pada itu terjadi kemelut politik di Mekkah, dimana waktu itu tentara Ibnu Sa’ud menyerbu Mekah. Penyerbuan ini membawa dampak ketidaknyamanan pelajar-pelajar yang menuntut ilmu di Kota Suci itu, apalagi setelah kekuasaan Ibnu Saud yang terkenal ektrem kala itu, dan juga telah menguasai hejaz dan membawa banyak perubahan.

Setelah pulang ke Indonesia melewati India, terus menyelusuri berbagai negeri hingga sampai di Singapura. Dari sini Syekh Arifin menyeberangi Selat Malaka menuju ranah Minang. Sesampainya di Batuhampar beliau kemudian mengajar. Syekh Arifin kemudian termasuk salah seorang ulama yang disegani dan mempunyai pengaruh terutama di Batuhampar, dan Luhak Limo Puluah khususnya.

Di samping ulama besar di zamannya, Syekh Arifin termasuk salah seorang Syekh Tarekat Naqsyababandiyah yang di hormati. Beliau telah menerima tarekat ini dari ayahnya yakni Syekh Arsyad, dan itu bertali silsilah sanad keilmuannya kepada kakeknya yakni Maulana Syekh Abdurrahman, muttasil hingga Rasulullah SAW.

Oleh karena faham nya yang bagus dalam tarekat, bersama Syekh Abdul Wahid Ash-shalihi Tabek Gadang beliau dipercaya sebagai penasehat dalam hal Tarekat dalam keorganisasian PERTI pada masanya.Syekh Muhammad Arifin dan Berdirinya PERTI Pada 5 Mei 1928, terjadi pertemuan ulama-ulama besar Minangkabau di Candung. Syekh Arifin hadir waktu itu, bersama dengan ulama-ulama besar lainnya, di antaranya:

1. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli Candung

2. Syekh Muhammad Jamil Jaho.

3.Syekh Abdul Wahid Ash-shalihi Tabek Gadang.

4. Syekh Abdul Majid Koto Nan Gadang Payakumbuh.

5. Syekh Muhammad Salim Bayur.

6. Syekh Khatib ‘Ali Padang.

7. Syekh Muhammad Sa’id Bonjol.

8. Syekh Machudum Solok.

9. Syekh Muhammad Yunus Sasak.

10. Syekh Adam Palembayan.

11. Syekh Hasan Bashri Maninjau.

12. Syekh Abbas Ladang Lawas.

13. Syekh Engku Alwi Koto Nan Ampek

14. Syekh Jalaluddin Sicincin Payakumbuh 15. Syekh Muhammad Zain Simabur

Pertemuan itu menghadirkan keputusan untuk mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI, waktu itu PTI), sebagai wadah persatuan ulama-ulama dan madrasah- madrasah Ahlussunnah wal Jama’ah dan bermazhab Syafi’i.Selain itu pertemuan tersebut juga memunculkan sebuah kebijakan untuk mengubah sistem belajar dari halaqah ke sistem klasikal, memakai bangku dan papan tulis, berkelas menurut tingkat- tingkat, namun tak mengubah pelajaran dan kitab-kitab syafi’i.

Semua madrasah diselaraskan dengan ‘Madrasah Tarbiyah Islamiyah’. Syekh Arifin menyambut dengan baik kebijakan itu, dan beliau kemudian mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Batuhampar, yang kala itu tak jauh dari komplek Surau Batuhampar.

MTI Batuhampar termasuk madrasah PERTI yang tertua selain MTI Candung, MTI Jaho dan MTI Tabek Gadang. Namun sayang, MTI itu tidak bertahan lama. Saat ini hanya tinggal kenangan saja.

Selain ikut dalam menggagas berdirinya PERTI, Syekh Arifin juga memegang posisi penting sebagai penasehat organisasi ini. Beliau ditunjuk misalnya pada Konferensi Besar di Candung pada 19-20 Mei 1930 sebagai advisiuren PERTI; pada tahun 1935, ketika pimpinan ditangan Buya Sirajuddin Abbas, Syekh Arifin ditunjuk sebagai penasehat PERTI bersama Syekh Jalaluddin Sicincin Payakumbuh.

Setelah menjalani pengembaraan intelektual yang begitu panjang, dan terbilang sosok yang mapan dalam organisatoris Syekh Muhammad Arifin Batuhampar pun menghembuskan napas terakhirnya di Bukittinggi pada 27 Jumadil Akhir 1357, atau bertepatan dengan 24 agustus 1938, setelah 14 tahun berkhidmat memimpin umat, dan menjadi ulama besar di Batuhampar sebagai Datuak Oyah, jenazah beliau pun kemudian di bawa ke Batuhampar dan dimakamkan di samping makam ayah dan kakeknya, yakni Syekh Arsyad dan Syekh Abdurrahman.

Setelah beliau wafat kepemimpinan Surau Batuhampar pun selanjutnya dilanjutkan oleh Syekh Ahmad (Saudara Syekh Arsyad) untuk menjadi “Datuak Oyah” ke IV, dan yang membina Kampung Dagang Batuhampar.

Setelah Syekh Ahmad wafat pada 1949 diangkat lah Syekh Darwish Arsyadi, dan setelah beliau pun wafat kepemimpinan Datuak Oyah berlanjut kepada Syekh Dhamrah Arsyadi di masa beliau lah berdiri Madrasah Al-Manar Batuhampar, Syekh Dhamrah tercatat wafat pada tahun 1992, dan di makamkan di Batuhampar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *