Categories Kisah

Hendra Prawira, Pengabdian Seorang Guru Honorer

“Saat ini hanya pengabdian yang saya lakukan”

SudutPayakumbuh.com – Kalimat di atas terucap dari mulut Hendra Prawira, 36, salah seorang guru honorer di SMAN 2 Payakumbuh saat wawancara bersama SudutPayakumbuh.com beberapa waktu lalu. Mulai mengabdi sejak tahun 2006 silam, Hendra yang mengajar bahasa mandarin ini terdengar pasrah saat ditanya mengenai statusnya sebagai guru honorer selama Sembilan tahun terakhir ini.

Namun di balik itu semua, ia tetap optimis dengan status honorernya karena ingin bahasa asing yang dimilikinya tetap bertahan di Kota Payakumbuh. Hal ini dikatakannya karena ia menilai bahwa bahasa asing itu sangat perlu dan dibutuhkan terutama dalam menghadapi MEA yang akan datang.

“Ketika saya berhenti mengajar maka bahasa ini akan punah. Mana tahu suatu saat nanti akan ada gunanya untuk daerah Payakumbuh ini atau mungkin juga menjadi motivasi bagi generasi muda untuk mempelajari bahasa asing,” ujar lulusan Pendidikan Bahasa Inggris STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh ini.

Saat ini, bersama sang istri, Titin J dan dua orang buah hatinya yaitu Sahid Galang dan Aisyah, ia tetap berjuang sebagai seorang suami, ayah, dan guru honor dalam mencukupi kebutuhan keluarganya. Sebulan, ia menerima upah sebesar Rp 700.000 per bulannya dari sekolah tempat ia mengajar.

Ketika ditanya apakah dengan gaji sebesar Rp 700.000 per bulannya itu cukup, ia langsung menjawab tidak cukup. Tapi untuk menyiasati hal tersebut, ia pun harus rela banting tulang bekerja serabutan dengan mencari pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhannya.

“Di luar mengajar, saya juga menjual perabotan bekas. Ketika ada yang ingin menjual perabotan seperti lemari, kursi, dan lainnya maka saya membelinya dan melakukan perbaikan. Baru setelah diperbaiki perabotan itu saya jual kembali,” kata anak dari pasangan Hensanan Zainul dan (alm) Ramadanis yang berprofesi sebagai seorang guru.

Ia mengungkapkan sebulannya biaya yang harus dikeluarkannya perhari adalah Rp 100.000. Biaya tersebut terdiri dari belanja harian kebutuhan di rumahnya serta belanja kedua anaknya. Sehingga setiap bulannya minimal Rp 3juta harus dikeluarkan untuk memenuhi biaya kehidupan di rumah kontrakan yang beralamat di Kototangah Kelurahan Talang, Kecamatan Payakumbuh Barat, Kota Payakumbuh.

Banyak suka dan duka yang dijalaninya sebagai seorang guru honor, salah satunya yaitu harus mendorong motor untuk bisa sampai di sekolah demi mengajar bahasa mandarin yang dipelajarinya saat berada di Bandung.

“Motor kehabisan bahan bakar, handphone ketinggalan di rumah, dan yang paling utama yaitu uang yang benar-benar tidak ada sepersen pun di saku. Tapi apapun itu, saya harus sampai di sekolah,” ujar Hendra mengenang salah satu kisah yang menjadi kenangan tersendiri hingga hari ini.

Selain itu, dengan berat hati ia juga bercerita tentang kesulitannya untuk mengeluarkan anaknya dari rumah sakit karena tidak adanya biaya. Sehingga untuk bisa membawa anaknya pulang, ia harus berjuang mencari uang agar bisa membayar biaya rumah sakit anak keduanya tersebut.

“Saya pernah menjual tempurung, bara, dan mengumpulkan kertas kemudian menjualnya. Semua itu saya lakukan untuk bisa bertahan dan menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan,” katanya.

Selain di SMAN 2 Payakumbuh, ia pun juga mengajar di SMA IT Cendekia dengan sebagai guru honorer. Sebelumnya ia juga pernah mengajar bahasa Mandarin di SMAN 3 Payakumbuh dan bahasa Inggris secara privat ke rumah-rumah.

Sedikit bercerita, sebenarnya Hendra yang merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara ini adalah seorang lulusan DIII Teknik Elektro Unanda pada tahun 2002. Kemudian ia pun merantau ke Bandung mencoba mengadu nasib demi merubah kehidupannya.

Di Bandung ternyata setiap lowongan pekerjaan yang tertera di media cetak mengharus seseorang harus menguasai bahasa asing yaitu bahasa Mandarin. Sehingga dirinya pun tertarik untuk mempelajarinya dan mengambil pendidikan satu tahun kursus Bahasa Mandarin.

Kemudian akhirnya ia pun bekerja di sebuah perusahaan dengan skill yang dimilikinya. Namun setelah satu tahun bekerja, ia pun merasa tidak betah dan memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Payakumbu.

“Pulang dari Bandung, saya mencoba mendirikan tempat kursus bahasa mandarin dan bahasa inggris. Sehingga pada waktu itu juga sempat membangun sebuah Taman Kanak-kanak. Tapi usaha ini tidak bertahan lama,” kata Hendra mengingat masa dimana ia memulai mengabdi untuk kota kelahirannya.

Sehingga pada suatu ketika, saat mengajar privat bahasa Inggris mencampurkan dengan bahasa Mandarin yang dimilikinya. Akibatnya, ia pun mendapat tawaran untuk mengajar di SMAN 2 Payakumbuh yang tidak lain adalah Kepala SMAN 2 Payakumbuh saat ini, Irma Takarina.

“Dulu sebelum jadi kepala sekolah, Buk Irma inilah yang membawa saya bisa mengajar di SMAN 2. Beliau sangat berjasa sekali karena hingga saat ini saya masih dipercaya mengajar di sana,’’ ujar Hendra yang lahir pada 17 Januari 1979 ini.

Sejak 2006, untuk mengubah status honorer menjadi PNS, ia telah berjuang agar bisa lulus menjadi PNS di Kota Payakumbuh. Namun dua kali tes yang diikutinya, ia masih gagal untuk bisa mendapatkan kesempatan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

“Sekarang apa boleh buat, saya tidak bisa berharap banyak karena apapun statusnya, saya tetap akan mengabdikan ilmu yang saya miliki ini agar terus diajarkan kepada generasi muda,” kata alumni SMPN 1 Payakumbuh dan SMAN 1 Payakumbuh ini.

Di sisi lain, ia masih menyematkan harapan kepada pemerintah Kota Payakumbuh untuk bisa lebih memperhatikan perkembangan bahasa asing di Payakumbuh. Sebab menurutnya bahasa asing baik itu bahasa Inggris maupun bahasa mandarin sangat dibutuhkan di masa akan datang.

“Selain berharap ilmu mandarain ini bertahan, saya juga berharap ada jaminan oleh pemerintah bagi kami yang mengabdi sebagai honorer ini di masa depan baik itu kesehatan maupun jaminan hari tua,” ujar Hendra Prawira menutup percakapan siang itu, Jumat (20/11)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *