Categories Artikel

Revitalisasi atau Ditelan Zaman: Nasib Warisan Keislaman di Ranah Minang

Oleh: Habibur Rahman (Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)

Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah aforisme yang nyata dan diwariskan turun-temurun oleh masyarakat Minangkabau sejak Islam hadir. Aforisme ini menunjukkan betapa eloknya kombinasi antara adat dan agama di Ranah Minang. Foto di atas adalah salah satu bangunan Masjid Tuo bersejarah yang menyatu dengan arsitektur budaya Minangkabau.

Masjid Tuo ini beroperasi sejak 1837 hingga 1970-an, terletak di wilayah Luhak Limo Puluah dan telah menjadi saksi sejarah keislaman di daerah Jorong Ampang Gadang, Kenagarian VII Koto Talago, Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat.

Fenomena berpalingnya masyarakat dari Masjid Tuo ini sejalan dengan teori modernisasi, yang menjelaskan bagaimana masyarakat sering kali terpukau dengan keindahan arsitektur modern, sehingga melupakan tempat-tempat yang bersejarah dan penuh nilai kultural.

Dalam pandangan sosiolog Emile Durkheim, perubahan yang terlalu cepat tanpa penyesuaian dapat menyebabkan keterasingan budaya atau “cultural lag.” Bangunan tua seperti Masjid Tuo dianggap kuno, sehingga nilai historis dan fungsinya dalam kehidupan sosial perlahan hilang.

Modernisasi membawa masyarakat untuk lebih memilih masjid-masjid baru dengan konstruksi kontemporer, meski itu berarti mereka juga meninggalkan identitas kultural yang seharusnya diwarisi.

Masjid Tuo ini menyimpan keindahan arsitektur yang memancarkan aura nostalgia, mengingatkan kita pada masa lalu. Menurut Apria Putra, pada 1980-an masjid ini menjadi topik hangat, tetapi akhirnya hanya menjadi subjek laporan arkeolog tanpa ada usaha serius untuk restorasi dari pihak berwenang.

Saat ini, masjid ini seolah ditinggalkan, sementara masyarakat lebih memilih masjid yang terlihat modern, dibangun dari batu bata. Ironisnya, beberapa warga bahkan menganggap Masjid Tuo ini sebagai tempat yang angker, membuat masjid tersebut semakin jarang dijamah.

Dalam konteks ini, teori hegemoni budaya dapat kita jadikan sebagai acuan, bahwa masyarakat sering kali terpengaruh oleh pandangan bahwa yang modern lebih baik daripada yang tradisional. Konsep hegemoni budaya menyatakan bahwa persepsi ini muncul dari kelas dominan, yang menciptakan pandangan bahwa kemajuan dan modernitas harus selalu dikaitkan dengan sesuatu yang baru.

Akibatnya, nilai sejarah dan budaya yang melekat pada bangunan tradisional seperti Masjid Tuo ini menjadi terpinggirkan. Hal ini memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh hegemoni modern dalam memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap warisan budaya mereka sendiri.

Saya terheran-heran mengapa bangunan ibadah seikonik ini, seperti surau atau masjid tradisional lainnya, selalu dianggap angker jika letaknya jauh dari keramaian. Akibatnya, masyarakat lebih takut daripada tertarik untuk beribadah di sana. Ini bisa dianggap sebagai bentuk “pembunuhan” terhadap proyeksi kultural dan spiritual kita.

Di berbagai daerah, fenomena ini terlihat jelas. Masyarakat sering kali berlomba membangun masjid besar dan megah. Meskipun hal tersebut tidaklah salah, tetapi jika di kampung masih ada surau atau masjid tua, mengapa tidak membenahi dan merawat bangunan yang sudah ada?

Merestorasi bangunan tua akan menjadi identitas berharga bagi kita. Di Ranah Minang, surau bukan hanya tempat mengaji, belajar Al-Qur’an, atau tausiyah. Surau adalah tempat di mana seni silat/silek diajarkan, dan tempat kebersamaan terbangun.

Teori identitas budaya dari Stuart Hall menjelaskan bahwa identitas budaya adalah sesuatu yang dinamis dan berubah seiring waktu. Dalam hal ini, ketika identitas baru yang berorientasi pada modernitas tumbuh, identitas tradisional yang melekat pada tempat-tempat seperti Masjid Tuo semakin tergeser. Pergeseran ini membuat masyarakat merasa lebih terhubung dengan elemen-elemen modern daripada dengan warisan budaya yang diwarisi dari leluhur mereka.

Namun, ketika modernitas sudah merasuk, masyarakat cenderung meninggalkan masa lalu, seolah modernitas adalah satu-satunya jalan. Banyak situs keislaman yang terbengkalai di Ranah Minang, dilupakan karena dianggap kuno. Padahal, bangunan bersejarah ini adalah saksi bisu kebudayaan dan spiritualitas kita.

Di samping itu, teori memori kolektif dari Maurice Halbwachs mengungkapkan bahwa memori kolektif sebuah masyarakat berperan penting dalam menjaga hubungan dengan masa lalu dan membentuk identitas bersama.

Masjid Tuo yang bersejah tidak hanya dalam kasus ini, tetapi juga dengan Surau merupakan bagian dari memori kolektif masyarakat, namun seiring dengan perkembangan modernisasi, masyarakat mulai melupakan sejarah yang melekat pada bangunan tersebut.

Hal ini menandakan bahwa memori kolektif tentang nilai-nilai keislaman dan kearifan lokal di Minangkabau mulai tergerus, di mana bangunan bersejarah yang seharusnya menjadi simbol ingatan bersama justru terlupakan dan terbengkalai. Jika memori kolektif ini tidak dipertahankan, maka identitas budaya dan religius masyarakat pun akan semakin memudar.

Akankah begini terus? Terkagum pada bangunan indah, bertingkat, dan mengilap, sementara di sekitar kampung masih ada bangunan bersejarah yang layak untuk tetap hidup dan berfungsi di masyarakat?

Kita sering membanggakan diri sebagai masyarakat yang “bersyarak” dan “baradaik,” tetapi sering kali lalai dalam menjaga peninggalan nyata. Bahkan ketika saya mengunjungi bangunan-bangunan bersejarah, lembaran Al-Qur’an yang tergeletak berceceran membuat hati saya teriris, seolah-olah nilai-nilai spiritual ini juga mulai dilupakan.

Jadi apa gunanya berbangga ketika Masjid Raya Sumbar atau yang kabarnya kini telah berganti nama dengan Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi Sumatra Barat, dinobatkan oleh Abdullatif Al Fozan Award for Mosque Architecture sebagai masjid dengan desain arsitektur terbaik di dunia, jika di kampung halaman sendiri masih ada tempat-tempat bersejarah yang dibiarkan roboh dan terlupakan?

Maka dari itu, saya teringat pada ungkapan yang digubah dalam bahasa Minang berikut: “Sajak badan ditimpo malang, dindiang ratak, cahayo mati, rono puda, ragi bakurang Badan nan indak dijanguak lai kaji lah jarang dibaco urang, kitab tatutuik, hp bakambang, guru lah mati, ilmu lah hilang Tinggalah Surau, guno tabuang.

Maratok tiang jo parabungan, manangih atok ditimpo dahan, tinggalah Surau jo paruntungan, alah runtuah urang lengahkan, anak mudo dikaja zaman sahinggo lupo bateh supadan, kok kunun Surau tabarasihan Allahu rabbi pagantungan.

Bujang marantau jo parasaian, nan gadih banyak bakaliaran, martabat jatuah dek perbuatan, Surau mangadu kapado Tuhan, pacah tangih di hari subuah, mandanga adzan di Surau jauah, takana badan nan alah runtuah, raso nan indak hiduik batambuah, basulik mananam budi, nan rumik khilaf kok tibo, senjang babaliak ka nan bana, maaf dimintak tantang itu.”

Semoga ini menjadi bahan renungan bagi kita semua.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *