Cerpen: Najla Syafifa Rizki (SMP Islam Raudhatul Hannah)
Sang mentari mulai menampakkan diri, menyapa dunia dengan cerianya. Cahaya merah merona menambah semarak irama pagi. Udara segar pagi menyapa cuping hidung semua orang. Nun dari jauh, Gunung Sago berdiri gagah menampakkan puncaknya di bawah biru langit Kota Payakumbuh. Sinar mentari yang menerpa kulit ikut membakar semangat dari pagi ke pagi lainnya bagi para pencari kehidupan.
Anwar melihat Amak yang sedang termenung di depan etalase kedai mereka. Amak merasa ada yang melihatnya, dia menoleh dan tersenyum kepada Anwar. “Mak, perlu bantuanmu!”
Mata Amak melihat ke arah bungkusan Bareh Randang yang ada. “Mak, aku tidak suka makan bareh randang, bagaimana buat usahanya, mak?” Anwar balik bertanya.
“Abak sudah merintis usaha ini dari nol, Nak. Dari sawah yang tergadai sampai Abak bisa pula menambah sawah kita.”
Amak sesaat terdiam, matanya mulai berkaca-kaca, “Siapa lagi yang lanjutkan usaha ini kalau tidak, kau, Nak.” Suara Amak mulai bergetar.
“Aku tidak bisa, Mak. Ada Uni Siti bukan? Kenapa harus aku?”
“Tetapi wasiat Abak, kau yang harus mewarisi usaha ini, Nak.” bujuk Amak pada si anak bungsunya yang keras hati ini.
Anwar masih saja tidak mau mengurus usaha bareh randang keluarganya ini. Makan bareh randang saja dia malas mencoba. Apa kata temannya yang para gamer, bisa jadi bulan-bulanan olok-olok mereka. Tak terbayang mau di mana disembunyikan wajahnya. Anwar sudah menutup hatinya untuk kabulkan permintaan Amak. Dia berdiri dan berlalu mengambil kunci motor yang dibelikan Abak, ultahnya yang ke tujuh belas. Motor yang harganya hampir sama dengan mobil.
“Boleh, Makasih ya,” Anwar menoleh dan menerimanya, tangannya tetap menekan tuts-tuts smartphone.
“Aku dengar kau mau melanjutkan bisnis keluargamu, ya?” Radit tanya teman sejak kecilnya ini.
“Hm!” gumam Anwar tanpa menoleh.
“Jadi, jawabanmu?”
“Aku tolak. Kemana aku taruh wajah raja gamer ini?” Anwar lalu meneguk minumannya.
“Mereka akan sangat bahagia aku pensiun dini hehehe.”
“Aku tahu. Jaga perasaan Amak. Kau ingin pikirkan dirimu saja.” kata Radit. Radit sudah menganggap Amak seperti ibunya sendiri pengganti Bunda yang sudah tiada.
Anwar diam. Matanya memandang jauh. Ditatapnya Radit karena suaranya yang tadi meninggi. Namun hatinya masih menolak dan tidak siap dikucilkan. bareh randang. Makanan ini terbuat dari tepung beras ketan dan campuran kuah manisan gula cair. Tepung beras ketan diolah dari beras ketan dengan menggunakan alat penggiling khusus. Makanan yang dia tidak suka apalagi teman-temannya.
Tidak ada nampak seninya, kuno dan jadul. Bareh randang yang dikemas dengan plastik dan dibentuk petak kecil-kecil, ataupun sesuai wadahnya seperti dasar piring. Coba burger atau donat, usaha orang tuanya pasti dia tidak akan dilema seperti sekarang. Masa pegangannya android terbaru, usahanya bareh randang, belum lagi nanti promosi di media sosial, follower para gamer pasti akan unfollow.
“Terserah kau, aku tidak peduli.” Kata Radit meninggalkan Anwar di taman yang sepi.
Laju motornya mulai melambat, hari ini kamarnya bukan lagi tempat yang nyaman. Dia harus jauh dulu dari rumah, ke tempat biasanya dia mangkal kalau lagi panik. Anwar berhenti di sebuah taman dengan banyak bangku yang bisa diduduki. Dia lalu mengeluarkan ponselnya lalu bermain game online yang biasa dimainkan. Dari kejauhan terlihat seseorang datang menghampiri Anwar dengan membawa minuman kaleng. “Kau mau?” kata Radit sambil menyodorkan minuman yang dipegang.
Anwar pergi ke rumah temannya yang tak terlalu jauh dari taman tadi. “Assalamu’alaikum Vandy!” kata Anwar sambil memencet bel rumah Vandy. “Wa’alaikumsalam. Eh, Anwar. Ada apa, Anwar? Ayo mari silahkan masuk.” sambut Vandy dengan ramah.
“Tidak usah. Pergi ke game counter, yuk!” ajak Anwar.
“Tumben tidak sama Radit, tapi ngggak papa lah, yuk!” Vandy mengambil kunci motornya dan mengikuti Anwar pergi ke game counter.
Mereka pun habiskan hari sambil bermain.
“Wau! Kau sudah kalah berapa kali itu? Kau kenapa? Biasanya kau selalu menang.” Vandy menatap Anwar heran.
“Tidak, aku hanya sedang banyak pikiran. Aku pulang duluan ya.” pamit Anwar sambil berlalu pergi dari game counter.
Esoknya, Anwar terlihat sibuk. “Hmm, kira-kira cukup.” guman Anwar. Ia dengan antusias menghitung uang tabungannya.
“Bisnis ini pasti akan kubuat sukses, tidak seperti bisnis Abak.” gumam Anwar sambil tersenyum tipis.
Anwar sedari kecil sangat menyukai donat, dan sekarang dia ingin memulai bisnis donat. Dia pasti tidak akan memiliki saingan, karena di Payakumbuh belum ada toko yang menjual donat dengan berbagai rasa terkinian.
Anwar juga ingin toko donatnya itu bisa mendunia. Berlebihan memang, tapi itu yang diharapkan oleh Anwar. “Bagus, aku bisa memulai bisnis donat dengan uang ini.” gumam Anwar sambil tersenyum tipis.
“Sepertinya aku harus segera mempersiapkan segalanya.” gumamnya dalam hati.
Anwar menatap puas pada toko kecil yang telah dipersiapkannya dalam beberapa hari itu.
“Lumayanlah.” gumam Anwar sambil tersenyum tipis.
“Lihat, aku pasti akan sukses, aku tidak punya saingan di sini.”
Waktu berputar, hari berganti, tanpa terasa sudah berjalan beberapa bulan bisnis Anwar. Entah kenapa, pelanggannya mulai berkurang seiring waktu berjalan. Uang simpanannya mulai berkurang. Apa donatnya tidak enak? Padahal pertama kali Anwar buka toko, pelanggannya bisa dibilang cukup banyak. Tapi, sekarang hanya satu atau dua orang yang datang.
Kontras dengan usaha orang tuanya yang tambah sukses. Mungkin karena sekarang musim liburan, banyak orang yang datang untuk membeli oleh-oleh untuk dibawa ke tempat asalnya.
“War, bagaimana bisnismu sekarang, nak?” tanya Amak sambil tersenyum lembut.
“Lumayan.” Anwar hanya menatap sekilas Amak yang menatap dalam padanya.
“Bagaimana kalau kamu melanjutkan bisnis bareh randang saja? Kedai ini kita tutup, bagaimana?” usul Amak. Amak masih sering juga memantau bisnis putranya ini, sambil berdoa ada yang dapat mengubah kekerasan hatinya.
“Kau boleh mencampurkan bareh randang kreasimu.” tambah Amak.
“Aku sudah bilang kalau aku tidak tertarik, biarkan aku melanjutkan bisnis ini dulu, mak.” kata Anwar pelan.
“Maaf, aku belum bisa menerimanya.” tambah Anwar.
Amak hanya tersenyum. “Ya sudah, tidak apa-apa. Amak akan menunggu kapan kamu siap melanjutkan bisnis ini.” Anwar hanya mengangguk lalu melanjutkan pekerjaannya tadi yang sempat tertunda.
Kontrak toko makin habis menunggu di ujung waktu. Penjualan donatnya tidak selancar dulu. Apa yang harus dia lakukan? Kepala Anwar semakin pusing, tidak mungkin dia mengadu pada amak agar dapat membantu usahanya yang hampir pailit ini.
“Mungkin aku harus menenangkan diri ke Harau.” gumam Anwar sambil menghitung uang simpanannya yang tersisa. Aku ingin tenangkan diri ke Harau sepertinya agar dapat ide.
Harau, tempat wisata yang diapit oleh dua bukit cadas terjal dengan ketinggian mencapai 150 meter, berupa batu pasir yang terjal warna-warni dengan ketinggian bukit 100 sampai 500 meter. Di Harau juga terdapat air terjun yang sangat indah, yang biasanya dipenuhi oleh masyarakat yang sedang berlibur.
Di Harau, Anwar menginap di sebuah homestay yang berbentuk seperti rumah gadang. “Kuno sekali.” gumam Anwar. Sebenarnya dia tidak ingin menginap di homestay ini. Dia terpaksa, karena uang simpanannya tinggal sedikit.
“Tapi kenapa bisa seramai itu?” gumam Anwar takjub.
“Tidak mungkin tempat sekuno itu bisa seterkenal ini.” Anwar terdiam.
“Sepertinya aku harus menanyakannya ke pemilik homestay ini secara langsung.” tekad Anwar sambil masuk ke dalam homestay.
“Assalamu’alaikum, pak. Maaf mengganggu, apa benar bapak pemilik homestay ini?” tanya Anwar ragu. Tidak mungkin orang semuda ini bisa terpikir untuk membuat homestay kuno seperti ini.
“Wa’alaikumsalam, benar itu saya. Ada apa ya, pak?” tanya pemuda itu balik.
“Perkenalkan nama saya Anwar. Apa kita boleh sedikit berbincang, pak?” tanya Anwar sopan.
“Aah, tentu saja. Oh ya, nama saya Fauzan. Mau berbincang tentang apa ya, pak?”
“Kenapa bapak membuat homestay dengan konsep negeri kita ini. Sekarangkan dunia sudah maju, kenapa harus membuat suatu yang kuno seperti ini?” tanya Anwar penasaran.
Pemilik homestaypun tersenyum tipis. “Saya hanya mengikuti apa yang sedang dicari orang sekarang, orang lebih tertarik pada destinasi wisata budaya. Kebudayaan kita unik, yang tidak memiliki oleh kebudayaan dari daerah lain. Naluri saya terasa terpanggil untuk memperkenalkannya ke masyarakat luar. Memang kenapa bapak bertanya seperti itu?” tanya Fauzan balik.
“Sebenarnya bisnis donat saya mulai bangkrut, saya ke sini untuk menenangkan pikiran saya yang mulai suntuk.” keluh Anwar.
“Saya turut berduka ya, pak. Apa bapak tidak memiliki bisnis selain bisnis donat?” kata Fauzan sambil menyeruput kopinya yang tinggal setengah.
“Ada, bisnis bareh randang keluarga saya. Tapi, menurut saya itu terlalu kuno. Jadi, saya tidak menerimanya.” jawab Anwar pelan sambil menunduk.
“Wah, usaha yang sangat bagus sekali itu, pak. Tetapi, kenapa bapak menyia-nyiakan kesempatan emas?” Fauzan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Mana tahu dari tangan bapak bisa membuat bareh randang mendunia? Bisa jadi dengan sedikit kreativitas dalam pengolahannya, bisa membuat produk ini menjadi lebih bervariasi dari segi bentuk tampilan dan rasa tetapi tidak menghilangkan ciri khasnya.” tambah Fauzan.
Anwar terkejut mendengar jawaban Fauzan. Ia tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Terpikirkan selama ini hanya game, game, dan game. Ia tidak pernah memikirkan hal selain itu. Pola pikirnya selama ini tidak pernah menyentuh sisi lain. Ia hanya menganggap bareh randang kuno. Ia tidak pernah menyangka akan selera masyarakat luar, yang sangat rindu akan kebudayaan yang unik.
Semalaman Anwar terus memikirkan perkataan Fauzan dengan matang. Esok paginya, ia memutuskan untuk pulang dan meminta maaf kepada Amak akan kekhilafannya selama ini. Ia akan teruskan usaha keluarganya dan membuat pembaharuan untuk itu. Anwar mengaktifkan smartphonenya yang mati beberapa hari ini. Banyak notifikasi yang keluar, dan matanya tertumpu pada pesan dari kakaknya, Uni Siti.
“Kau di mana Anwar? Toko dan dapur bareh randang kita terbakar dek. Habis semunya. Cepatlah pulang!”